BAB
I
PENDAHULUAN
Pembayaran
pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang
perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan
hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta
terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas
kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang
perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban
tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam
Sistem Perpajakan Indonesia.
Urgensi
pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika
pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage
(lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak)
dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran
masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu
yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik
yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun
yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan
pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu
diupayakan secara sinergis dan komprehensif.
Pada
makalah di bawah ini sudah terangkum materi mengenai hukum perpajakan, sebagai
cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang
pengertian, jenis dan macam pajak serta manfaat pajak yang berlaku di
Indonesia. Makalah ini juga membahas mengenai berbagai materi yang berhubungan
dengan hukum perpajakan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Hukum
Perpajakan
Definisi
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
“pajak” yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
- Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
- Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak
adalah iuran rakyat kepada Kas Negaraberdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai
berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
Sedangkan
menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak
adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional,
agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya
sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan
gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama,
berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam
penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut
Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan
uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari
pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan
undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus
sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hukum Perpajakan
Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak
adalah soal negara berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah
Republik Indonesia. Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu
pengetahuan tersendiri yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber
inspirasi baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat popularitas.
Sehubungan dengan perubahan struktur masyarakat maka
hukum perpajakan Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan
jiwa baru atau jiwa reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka
hukum perpajakan Indonesia bukan saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu
mendapat perhatian khusus dari para pemimpin rakyat dan politisi.
Arti hukum perpajakan
Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang
mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum
yang berkewajiban membayar pajak.
Tugas hukum perpajakan
Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat
dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan
hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah
tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam
masyarakat.
Luasnya
hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama
dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan
perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan
pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat
itu.
Ciri-ciri
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik
pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta
ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang
dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1.
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.“
2.
Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan
bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor.
3.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4.
Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundag-undangan.
5.
Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negarayang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan,
pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
Jenis dan Macam Pajak
Secara
umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak -
Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola
oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal
Pajak meliputi :
1.
Pajak Penghasilan (PPh)
PPh
adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan
penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian
maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah,
dan lain sebagainya.
2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu
sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean
adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan
ruang udara diatasnya.
3.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain
dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah,
juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah adalah :
- Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan
pokok; atau
- Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
atau
- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh
masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status;
atau
- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.
Bea Meterai
Bea
Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian,
akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat
jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB
adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau
bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi
penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota.
6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun
realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1.
Pajak Propinsi
a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2.
Pajak Kabupaten/Kota
a.
Pajak Hotel;
b.
Pajak Restoran;
c.
Pajak Hiburan;
d.
Pajak Reklame;
e.
Pajak Penerangan Jalan;
f.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g.
Pajak Parkir.
Dasar Hukum
Salah satu, aspek yang penting dalam hukum perpajakan
adalah wewenang fiskus (petugas pemungut pajak) dalam memungut pajaknya dari
masyarakat. Hal ini dapat juga disebut sebagai asas-asas pajak atau asas dalam
pengenaan pajak. Hukum pajak dibedakan
menjadi 2, yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak
material memuat tentang pertanyaan APA, SIAPA, dan BERAPA. Contoh hukum pajak
material adalah UU PPh (Pajak Penghasilan) dan UU PPN (Pajak Pertambahan
Nilai). Hukum pajak formal memuat tentang ketentuan-ketentuan dalam hukum pajak
material dan contohnya terdapat pada UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan).
Pertanyaan dalam hukum pajak formal, mengenai BAGAIMANA mewujudkan hukum pajak
material.
Hukum Pajak Material
Hukum pajak material dapat juga disebut sebagai ketentuan
material dalam perpajakan. Berarti, mengatur hal-hal secara materi dalam
perpajakan. Siapa yang dikenakan pajaknya atau siapa subjek pajaknya. Apa objek
yang dikenakan pajaknya. Berapakah besar tarif pajaknya dan besarnya pajak yang
terutang. Berikut ini merupakan contoh-contoh hukum pajak material secara
rinci, diantaranya :
- UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
- UU No. 18 tahun 2000 tentag Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
- UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan
(PBB)
- UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai
- UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah
- UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan.
Hukum Pajak Formal
Dalam hukum pajak formal, diatur mengenai ketentuan
bagaimana pelaksanaan atau cara untuk mewujudkan hukum pajak material menjadi
kenyataan. Dapat dikatakan bahwa hukum pajak material mengatur pajak secara
materinya, sedangkan hukum pajak formal adalah ketentuan pajak secara formalnya
atau dalam ketentuan-ketentuannya. Berikut ini merupakan undang-undang yang
memuat hukum pajak formal, yaitu :
- UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan
Tatacara Perpajakan (UU KUP)
- UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa (UU PPSP)
- UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Salah satu, contoh umumnya dalam hukum pajak formal
adalah mengenai seseorang yang menjadi Wajib Pajak (WP). Hal ini diatur dalam
UU KUP. Seseorang WP dalam UU Kup diatur mengenai cara-cara yang dia tempuh
dalam membayar pajaknya. Dimulai dari mendaftarkan diri ke KPP (Kantor Pelayanan
Pajak) setempat untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Kemudian,
bagaimana WP menyetorkan pajaknya dengan SSP (Surat Setoran Pajak) ke bank dan
melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) ke KPP. Semua hal mengenai sistem dan
prosedur pajak akan dibahas dalam hukum pajak formal yang tercantum dalam UU
KUP. Selain itu, UU KUP dapat dikatakan sebagai induk atau dasar dari
ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku di Indonesia. Mengenai sistem dan
prosedur pajak akan dibahas lebih lanjut dalam postingan yang akan datang.
Teori
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya
Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan
pajak, yaitu:
- Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai
tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik
keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan
tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi
deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai
pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara
tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
- Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar
pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga
negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin
tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak
yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada
kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi
daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan
lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Manfaat
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga
atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan
pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa
pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.
Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan
berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan
menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk
pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat.
Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia,
menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai
dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan
penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang
jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas,
pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang
mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang
kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat
mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya
kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara
maksimal.
Syarat
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat.
Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu
rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar
tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan yaitu:
1.
Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun
mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
a.
Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
b.
Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai
wajib pajak
c.
Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat
ringannya pelanggaran
2.
Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang
berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
3.
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut
harus dijamin kelancarannya
4.
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
5.
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak
6.
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian
rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
7.
Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih
rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem
pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu.
8.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat
menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai
sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak
rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Asas Pemungutan
Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli. Untuk
dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan
tentang asas pemungutan pajak, antara lain:
1.
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang
terkenal “The Four Maxims“, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
a.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak.
b.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c.
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas
ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai
terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
2.
Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
a.
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
b.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
c.
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan
yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
e. Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan
pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan
nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3.
Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut.
a.
Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya memadadi
sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara
b.
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah
c.
Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d.
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana
harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan
besarnya biaya pajak.
e.
Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau
kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan
yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan
negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu
undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan
dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdap at beberapa
asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya
untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama
yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan
pajak adalah:
1.
Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan
berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara
yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduk-nya akan
menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas
penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh
di luar negeri (world-wide income concept).
2.
Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas
suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh
orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di
negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa
status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang
menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal
dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah
Indonesia.
Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau
badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi
persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti
halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan asas nasionalitas dengan
konsep pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan
prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau
kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama,
pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan
kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan
dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau
berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam
asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak
tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi
landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan
pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua
asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang
diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber,
penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada
penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara
yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas
saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili
dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa
gabungan ketiganya sekaligus. Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek
pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili
dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut
asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur
mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Penerimaan Pajak
Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun
2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20
persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp
37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006
mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
- Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
- Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Rp.5,06 triliun
- Penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai
Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor
Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005)
sudah mencapai 1.040 triliun.
NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak biasa disingkat dengan NPWP
adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak (WP) sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP
- Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib
mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
- Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap
wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan
perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
- Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang
mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib
mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya,
juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kegiatan usaha dilakukan.
- Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh
penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
- WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat
mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.
Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri
atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
BAB III
PENUTUP
- Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor
swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
- Salah satu, aspek yang penting dalam hukum
perpajakan adalah wewenang fiskus (petugas pemungut pajak) dalam memungut
pajaknya dari masyarakat. Hal ini dapat juga disebut sebagai asas-asas
pajak atau asas dalam pengenaan pajak.
Hukum pajak dibedakan menjadi 2, yaitu hukum pajak material dan
hukum pajak formal. Hukum pajak material memuat tentang pertanyaan APA,
SIAPA, dan BERAPA. Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau
kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang.
- Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah
tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber
penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk
dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja
pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan
sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas,
kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak.
DAFTAR
PUSTAKA
- Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum
Pajak, PT Eresco, Bandung
- Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan
Ekonesia , Jogyakarta
- Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum
Pajak, Salemba Empat, Jakarta
- http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/
- http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-perpajakan/
Saya Ibu Queen Daniel, A pemberi pinjaman uang, saya meminjamkan uang kepada indaividu atau perusahaan yang ingin mendirikan sebuah bisnis yang menguntungkan, yang menjadi periode utang lama dan ingin membayar. Kami memberikan segala jenis pinjaman Anda dapat pernah memikirkan, Kami adalah ke kedua pinjaman pribadi dan Pemerintah, dengan tingkat suku bunga kredit yang terjangkau sangat. Hubungi kami sekarang dengan alamat email panas kami: (queendanielloanfirm@gmail.com) atau (queendanielloanfirm@yahoo.com) Kebahagiaan Anda adalah perhatian kami.
BalasHapus