Senin, 24 Maret 2014

Franchise

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Konsep Franchise
       Menurut Winarto (1995, p. 19) Waralaba atau franchise adalahhubungan kemitraan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen.
       Menurut Mohammad Su’ud (1994:4445) bahwa dalam praktek franchise terdiri dari empat bentuk:
1.    Product Franchise
Suatu bentuk franchise dimana penerima franchise hanya bertindak mendistribusikan produk dari petnernya dengan pembatasan areal.
          2.    Processing or Manufacturing Franchise
Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman. Suatu bentuk franchise dimana PT Ramako Gerbangmas membeli dari master franchise yang mengelola Mc Donald‘s di Indonesia yang hanya memberi know how pada PT Ramako Gerbangmas tersebut untuk menjalankan waralaba Mc Donald’s.
          3.    Bussiness Format atau System Franchise
Franchisor memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh Mc Donald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.
          4.    Group Trading Franchise   
          Bentuk franchise yang menunjuk pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada.
       Keberhasilan dari suatu organisasi franchise tergantung dari penerapan konsep bisnis yang sama antara franchisor dan franchisee. Konsep bisnis tersebut berupa pedoman yang mencakup standarisasi produk, metode untuk mempersiapkan atau mengolah produk atau makanan, atau metode jasa, standar rupa dari fasilitas bisnis, standar periklanan, system reservasi, sistem akuntansi, kontrol persediaan, dan kebijakan dagang, dll.
       Sebelum masuk ke konsep waralaba, usaha yang dijalankan telah memiliki beberapa cabang dengan hasil penjualan yang memuaskan selama minimal 2 tahun. Artinya cabang kita telah terbukti (proven) memberikan keuntungan yang bagus dibandingkan nilai investasi awal.
       Kemudian menyusun sebuah proposal bagaimana kita membangun cabang kita. Menuliskan bagaimana pemilihan lokasi, pemilihan interior, SOP karyawan, manajemen, operasional, marketing, sistem rekruitmen dan pelatiha. Semua konsep itu dibuat sebagai panduan bagi mitra waralaba (franchisee) sebagai panduan usaha. Tidak lupa kita membangun brand dan memperkuat aktivitas pengembangan produk agar waralaba dapat bersaing.
       Konsep awal franchise tidak lah harus sempurna, namun proposal waralaba memberi gambaran yang jelas dan sama untuk setiap calon franchisee di manapun berada. Karena franchisee adalah satu merek dengan kepemilikan masing-masing akan memberikan keuntungan bagi seluruh stage holdernya. Kelemahan konsep franchise dapat diperbaiki sejalan dengan perkembangan bisnis franchise itu sendiri.
       Konsep franchise yang menguntungkan seharusnya tidak hanya menguntungkan salah satu pihak tetapi juga kedua belah pihak, yaitu franchisee dan franchisor.Konsep franchise yang berkembang pesat belakangan ini memang terbilang cukup menguntungkan walaupun masih terkesan kapitalis. Konsep yang berkembang sekarang ini lebih cenderung menguntungkan franchisor dan lebih merugikan franchise. Secara umum, dalam konsep franchise yang berkembang sekarang ini, biasanya franchisor akan mengenakan kepada franchise beberapa hal yaitu franchise fee dan royalty fee. Franchise fee biasanya dibebankan kepada franchisee untuk jangkan waktu tertentu, biasanya 5 tahun. Sedangkan royalty fee biasanya dihitung dari omzet penjualan.
       Hal ini dianggap merugikan franchise, karena dengan penerapan franchise fee berarti sang franchisor sudah mengambil keuntungan di depan sedangkan usaha belum berjalan. Penghitungan royalty fee dari omzet penjualan juga mencerminkan ketidakadilan. Karena berarti si franchisor tidak menanggung resiko. Karena walaupun usaha tersebut mengalami kerugian, sepanjang ada penjualan maka franchisor akan tetap mendapatkan royalti.
       Konsep franchise ini pada awalnya berkembang karena di satu sisi ada pengusaha yang sudah berhasil dalam menjalankan bisnisnya tetapi kekurangan modal untuk mengembangkannya lebih besar lagi. Dan di sisi lain, ada pihak yang mempunyai modal tetapi belum atau tidak memiliki pengalaman atau keahlian dalam berbisnis di bidang tersebut. Di sinilah akhirnya ada dua kepentingan yang bertemu dan bersinergi. Kemudian munculah konsep franchise syari’ah dimana dalam istilah ekonomi Islam, si franchisor yang dikenal sebagai Mudharib berkontribusi dengan pengalaman, brand dan juga system bisnis. Sedangkan franchisee yang di sebut sebagai Shahibul Maal dalam ekonomi Islam berkontribusi dengan modal, baik uang maupun asset. Kemudian kedua belah pihak tersebut bertemu dan berpegang pada prinsip-prinsip yang tidak melanggar syari’ah dan berlandaskan keadilan.
       Konsep franchise syari’ah mempunyaibeberapa karakteristik utama sebagai berikut, yaitu:
1.         Tidak mengenal adanya franchise fee. Hal ini dikarenakan usaha belum berjalan. Jadi setiap keuntungan akan dinikmati setelah usaha berjalan dan ada keuntungan.
2.         Royalty fee atau lebih tepatnya bagi hasil diambil dari gross profit atau net profit. Bisa dihitung bulanan, 3 bulanan atau sesuai dengan kesepakatan awal.
3.         Usaha tersebut menjadi milik bersama. Proporsi kepemilikan saham dan bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini biasanya tergantung pada karakteristik bidang usahanya. Dan kepemilikan usaha ini bisa dibatasi waktu atau bisa juga selamanya, tergantung pada kesepakatan.
4.         Dalam kerjasama ini, franchisee (shahibul maal) bisa terlibat dalam manajemen usaha ataupun tidak.
        Adapun perbedaan konsep franchise umum dengan franchise syari’ah yang dapat dilihat dari sisi profit. Dimana profit juga bisa dinikmati oleh kedua belah pihak setelah usaha tersebut sudah berjalan dan menghasilkan keuntungan. Jika belum menghasilkan profit, maka kedua belah pihak juga tidak akan mendapatkan apapun. Dengan karakteristik tersebut di atas, maka kedua belah pihak (franchisor/ mudharib dan franchisee/ shahibul maal) akan mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memajukan usaha tersebut. Tidak seperti yang banyak terjadi sekarang, yang lebih banyak merugikan pihak franchisee. Karena pihak franchisor sudah mengambil profit di depan, sehingga kadang-kadang menjadi kurang peduli kepada keberhasilan usaha sang franchisee. Konsep franchise Syarai’ah ini intinya adalah pihak franchisor tetap dapat mengemban usahanya dengan modal pihak lain dan orang yang ingin memiliki usaha (franchisee) dapat memulai usahanya tidak dari nol. Dalam ekonomi Islam sendiri, waralaba ini disebut sebagai system mudharabah atau musyarakah.
2.2     Kelebihan dan Kekurangan Dari Franchise
       Franchising juga merupakan strategi perluasan dari suatu usaha yang telah berhasil dan ingin bermitra dengan pihak ketiga yang serasi, yang ingin berusaha, dan memiliki usaha sendiri. Sistem franchise ini mempunyai keunggulan-keunggulan dan juga kerugian-kerugian. Keunggulannya adalah: “As practiced in retailing, franchising offers franchisees the advantage of starting up a new business quickly based on a proven trademark and formula of doing business, as opposed to having to build a new business and brand from scratch.”
       “Seperti dalam praktek retailing, franchising menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula.” Selain itu menurut Rachmadi keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain:
1.    Pihak franchisor memiliki akses pada permodalan dan berbagi biaya dengan franchisee dengan resiko yang relatif lebih rendah.
2.    Pihak franchisee mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
3.    Lebih dari itu, franchisee secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran. (Rachmadi, 2007, p. 7-8)
       Sedangkan kerugian sistem franchise bagi franchisee adalah:
1.    Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor.
2.    Sistem franchise bukan jaminan akan keberhasilan, menggunakan merek terkenal belum tentu akan sukses bila tidak diimbangi dengan kecermatan dan kehati-hatian franchisee dalam memilih usaha dan mempunyai komitmen dan harus bekerja keras serta tekun.
3.    Franchisee harus bisa bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dalam hubungannya dengan franchisor. (Sukandar, 2004, p. 67)
4.    Tidak semua janji franchisor diterima oleh franchise.
5.    Masih adanya ketidakamanan dalam suatu franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui perjanjian. (Rachmadi, 2007,p. 9)
2.3     Mengevaluasi kesempatan usaha Franchise
       Dalam 10 tahun terakhir ini bisnis franchise tengah menjadi model bisnis paling populer di negeri ini, terutama bagi mereka yang ingin terjun menjadi entrepreneur tanpa mau repot merintis bisnis baru dari nol. Layaknya sebuah mode, bisnis franchise ini banyak diperbincangkan di mana-mana dan sangat digandrungi oleh masyarakat luas. Di sekitar kita banyak kita lihat menjamurnya bisnis franchise baik asing maupun lokal. Franchise asing misalnya McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Wendy’s, dll. Franchise lokal misalnya Ayam Bakar Wong Solo, Es Teller 77, Alfamart, Indomart, RM Padang, Bakso Cak Eko, Bakso Cak Man, dll.
       Tingginya minat untuk membuka bisnis franchise ini antara lain terlihat dari antusiasnya pengunjung dalam setiap kali pameran franchise, juga laris manisnya seminar dan buku-buku bertemakan franchise. Dalam melakukan bisnis ini memang tidak ada jaminan akan keberhasilan bisnisnya. Memang cukup banyak investor yang berhasil dalam menjalankan bisnis franchise, tetapi banyak juga diantaranya yang gagal. Sebagaimana disampaikan Ketua Waralaba dan Lisensi Indonesia Karamoy (2009) bahwa rata-rata pertumbuhan bisnis franchise lokal mencapai 8-9% per tahun, sedangkan franchise asing 12-13% per tahun. Namun perbedaan tingkat kegagalan dari keduanya sangat mencolok yaitu sebesar 50-60% untuk franchise lokal dan hanya 2-3% untuk franchise asing (Firdaniaty, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa antusias masyarakat untuk membuka bisnis franchise belum dibarengi dengan kehati-hatian dan kejelian dalam pengelolaan.
       Seorang yang baru saja mendirikan bisnis restaurant, sudah tertarik untuk berpikir segera memfranchisekan bisnisnya. Begitu juga dengan pelaku bisnis bengkel, salon kecantikan, retail, hingga software komputer. Hampir dipastikan, saat ini semua orang sedang berfikir bisnis apa lagi yang dapat difranchisekan. Namun demikian masyarakat pelaku bisnis hendaknya menyadari bahwa sebuah bisnis dapat difranchisekan jika telah memenuhi syarat yang telah ditentukan sehingga bukan mengikuti kelatahan belaka. Syarat tersebut antara lain bahwa usaha franchise merupakan sebuah sistem atau usaha yang telah terstandar secara baku dan telah teruji kesuksesannya. Istilah “teruji kesuksesannya” sengaja diberi penekanan, sebab bila pemilik bisnis tersebut masih pemula dalam mencari pola maka dapat membahayakan franchisee yang akan membeli sekaligus dapat menimbukan konflik internal
2.4     Sudut Pandang Franchisor
       Perkembangan bisnis waralaba sekarang sangatlah pesat.  Tidak beda dengan keadaan bisnis waralaba yang ada di Indonesia.  Jumlah para investor yang memutuskan untuk melakukan bisnis waralaba kian banyak. Mengapa seorang wirausaha berkeinginan menjadi seorang franchisor daripada mengoperasikan sebuah perusahaan yang memiliki gerai? Berikut ini adalah beberapa alasan kenapa bisnis waralaba sangat menggiurkan:
a.          Pengurangan persyaratan modal
Franchise memungkinkan sebuah perusahaan untuk memperluas usahanya tanpa mencairkan modal.  Melalui pengaturan upah dan royalti, perusahaan yang terlibat dalam franchise pada hakikatnya meminjam modal dari para franchisee untuk pengembangan salurannya.  Oleh karena itu mempunyai persyaratan modal yang lebih kecil daripada memiliki rangkaian secara keseluruhan.
b.        Meningkatkan motivasi dalam manajemen
Franchise sebagai pemilik, lebih sangat termotivasi daripada karyawan yang digaji, karena insentif laba dan minat akan hak-hak mereka di dalam bisnis tersebut.  Sejak franchise didesentralisasikan, franchisor juga tidak mudah terpengaruh oleh usaha pengorganisasian tenaga kerja bila dibandingkan dengan organisasi yang tersentralisasi.
c.          Kecepatan ekspansi perusahaan
Franchise membiarkan bisnis memasuki pasar lebih cepat daripada jika perusahaan menggunakan sumbernya sendiri untuk memasuki pasar.
       Waralaba demikian menarik karena usaha ini menawarkan kesempatan kepada orang-orang yang memiliki berbagai tingkat modal dan pengalaman. Para pengusaha kecil tertarik bukan hanya pada kesempatan untuk memiliki usaha sendiri(dimensi motivasi berwirauasaha), tapi juga pada kesempatan untuk melakukannya dalam suatu sistem yang mapan dan sudah dikenal pasar dengan resiko minimal.
       Menurut Menurut Goenardjoadi, redaktur Ahli majalah Franchise, seperti dikutip situs franchise-indonesia.com edisi Januari 2006 waralaba merupakan alternatif yang paling mudah untuk memulai bisnis.  Bila semuanya harus mulai dari nol, maka harus melalui trial & error yang meningkatkan risiko.  Dengan adanya waralaba, maka risiko dapat diturunkan hingga menjadi sekitar 15 persen, tergantung lokasi.
       Kemudian apa saja yang harus diperhatikan dalam mengembangkan bisnis waralaba atau usaha sendiri? Menurut para frinchisor, seperti pemilik Ayam Bakar Wong Solo (ABWS), Puspo Wardoyo; alumni ITB yang kini jadi Tukang Bakmi, Wahyu Saidi; Pemilik McDonald's Indonesia, Bambang N Rachmadi; dan Anang Sukandar, supaya berhasil dalam bisnis waralaba, pengusaha perlu memperhatikan beberapa hal (Republika, 2006).  Seperti bisnis pada umumnya, untuk menjalani waralaba diperlukan kepekaan terhadap pengembangan usaha seperti pemilihan lokasi dan kecermatan memanfaatkan celah menguntungkan dari selera dan kebutuhan masyarakat.Kendati nama dagang terkenal, promosi tetap diperlukan untuk memajukan usaha. Dan yang tak kalah pentingnya adalah ukuran bangunan tempat usaha. Menurut Pemilik McDonald's Indonesia, Bambang N Rachmadi, sebaiknya ukuran bangunan seperti restoran jangan terlalu besar. Sebab, kalau terlalu besar, maka ruangan akan terlihat kosong. Hal lainnya yang juga turut mendukung kesuksesan usaha yang dikembangkan adalah nama merek (dimensi pengelolaan merek). Nama tempat usaha ataupun nama jenis makanan atau barang yang diperdagangkan hendaknya harus mudah diingat konsumen. Begitu juga dengan jenis barang atau makanan yang dijual. Menurut para frinchisor, jenis usaha yang paling banyak peminatnya adalah makanan. Sebab, urusan perut merupakan yang paling dominan. Meski tawaran kian beragam, hingga kini usaha waralaba makanan masih mendominasi.
2.5     Hubungan Dari Franchisor dan Franchise  
       Hubungan kerjasama antara franchisor dan francisee merupakan aspek yang sangat kritikal dalam waralaba.  Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.  Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.  Sukses keduanya tergantung kepada sinerji dari hubunga kedua belah pihak tersebut.  Bisnis waralaba mengandalkan pada kemampuan mitra usaha dalam mengembangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba melalui tatacara, proses serta suatu “Code of Conduct” dan sistem yang telah ditentukan oleh perusahaan pemberi waralaba.
       Franchisor dan franchisee berbagi resiko dalam memperluas pangsa pasar dan  pengembangan  sumber daya serta potensi lokal  dimasing-masing lokasi franchisee.  Dengan panduan format bisnis milik franchisor, diharapkan tingkat resiko kegagalan dapat diminimalisasi, karena franchisor pun senantiasa melakukan perbaikan dan pengembangan sistem agar dapat bersaing dengan bisnis lainnya.  Franchisee diharapkan bisa bertanggung jawab pada usaha yang dijalankannya dengan komitmen yang tinggi untuk berhasil.  Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baikbagi franchisor maupun franchisee.
       Franchisee berada dalam posisi independent terhadap Franchisor. Independent yang dimaksud adalah Franchisee berhak atas laba dari usaha yang dijalankannya, bertanggung jawab atas beban usaha waralabanya sendiri. Di luar itu, Franchisee terikat pada aturan dan perjanjian dengan Franchisor sesuai dengan kontrak yang disepakati bersama. Dalam praktek pelaksanaannya, dapat dijumpai beberapa tipe franchising, yaitu:
a.          Trade Name Franchising
Pada tipe ini franchisee memperoleh hak untuk memproduksi sendiri dengan merek dagang dari franchisor. Contohnya adalah PT. Great River memiliki hak untuk memproduksi pakaian dalam Triumph dengan merek dagang dari Jerman.
b.         Product Distribution Franchising
Pada tipe ini franchisee memperoleh hak untuk distribusi di wilayah tertentu.
c.          Pure Franchising
Pada tipe ini franchisee memperoleh hak sepenuhnya. Contohnya adalah restaurant dan fast food.
       Terdapat beberapa karakteristik dalam franchise diantara franchisor dan franchisee diantaranya:
a.    Ada kesepakatan kerjasama yang tertulis.
b.    Selama kerjasama tersebut pihak franchisor mengizinkan franchisee menggunakan merk dagang identitas usaha milik franchisor dalam bidang usaha yang disepakati.
c.    Selama kerjasama tersebut pihak franchisor memberikan jasa penyimpanan usaha dan melakukan pendampingan pada waralaba.
d.    Selama kerjasama tersebut franchisor mengikuti ketentuan yang telah disusun oleh franchisee yang menjadi dasar usaha yang sukses.
e.    Selama kerjasama tersebut franchisor melakukan pengendalian hasil dan kegiatan dalam kedudukannya sebagai pemimpin sistim kerjasama.
f.     Kepemilikan badan usaha sepenuhnya ada pada franchisee.  Secara hukum franchisor dan franchisee adalah dua badan hukum yang terpisah.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll